Nasehat
Islam adalah agama yang ditegakkan di atas nasehat. Oleh sebab
itu dalam halaman ini kami akan menyajikan secara bertahap nasehat-nasehat para
ulama untuk diri kita dan umat manusia pada umumnya. Mudah-mudahan
nasehat-nasehat mereka bisa memperbaiki kondisi hati kita dan semakin
mendekatkan diri kita kepada Rabb alam semesta.
[1] Pokok Agama
Ibnu Taimiyah rahimahullahberkata:
Ikhlas adalah kakikat Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan
kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Maka barangsiapa yang tidak pasrah
kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang
pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan
kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam.
Oleh sebab itulah pokok ajaran islam adalah syahadat laa
ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan
meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang
tidaklah menerima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama
selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang
artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka
tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan
orang-orang yang merugi.” (QS. Ali ‘Imran).
Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok
agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati,
dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak akan bermanfaat tanpanya.
(lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal.
30)
[2] Beramal Untuk Akhirat
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berkata, “Kebiasaan
para ulama terdahulu adalah menulis nasehat satu sama lain dengan kata-kata
semacam ini: Barangsiapa yang memperbaiki hatinya, maka Allah akan memperbaiki
kondisi lahiriyahnya. Barangsiapa yang memperbaiki hubungannya dengan Allah,
maka Allah akan memperbaiki hubungannya dengan sesama manusia. Barangsiapa yang
beramal untuk akhiratnya, maka Allah akan mencukupkan baginya urusan dunianya.”.”
(lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal.
33-34)
[3] Sumber Kebahagiaan
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
Allah subhanahu wa ta’ala telah menganugerahkan
kepada anak cucu Adam dua perkara yang menjadi sumber kebahagiaan.
Pertama: setiap bayi yang dilahirkan maka
ia terlahir di atas fitrah (tauhid). Jiwa manusia apabila dibiarkan begitu saja
maka ia akan mengakui bahwasanya Allah adalah sesembahannya. Dia akan
mencintai-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Akan tetapi
hal itu menjadi rusak akibat tipuan yang dilakukan oleh setan-setan dari
kalangan jin dan manusia kepadanya melalui kebatilan yang mereka bisikkan satu
sama lain.
Kedua: bahwasanya Allah telah memberikan petunjuk kepada umat
manusia dengan hidayah yang bersifat umum dengan apa yang Allah tanamkan dalam
diri mereka berupa fitrah dan sebab-sebab untuk memahami ilmu. Selain itu,
Allah juga menganugerahkan kepada mereka petunjuk dengan diturunkannya
kitab-kitab dan diutusnya para rasul.
(lihat Mawa’izh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal.
35)
[4] Tiga Pokok Kebahagiaan
Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Ada
tiga pokok yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masingnya
memiliki lawan. Barangsiapa yang kehilangan pokok tersebut maka dia akan
terjerumus ke dalam lawannya. [1] Tauhid, lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya
bid’ah. Dan [3] ketaatan, lawannya adalah maksiat…”(lihat al-Fawa’id,
hal. 104)
[5] Kenikmatan Terbesar di Dunia
Malik bin Dinar rahimahullah berkata: “Penduduk
dunia telah keluar dari dunia, sementara mereka belum sempat merasakan sesuatu
yang paling nikmat di dalamnya.” Orang-orang bertanya, “Apakah hal itu wahai
Abu Yahya?”. Beliau menjawab, “Ma’rifatullah ‘azza wa jalla.”
(dikutip dari Sittu Durar min Ushul Ahli al-Atsar [28] karya Syaikh
Abdul Malik Ramadhani)
[6] Keberuntungan Paling Besar
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Keberuntungan
paling besar di dunia ini adalah kamu menyibukkan dirimu di sepanjang waktu
dengan perkara-perkara yang lebih utama dan lebih bermanfaat untukmu kelak di
hari akherat. Bagaimana mungkin dianggap berakal, seseorang yang menjual surga
demi mendapatkan sesuatu yang mengandung kesenangan sesaat? Orang yang
benar-benar mengerti hakekat hidup ini akan keluar dari alam dunia dalam
keadaan belum bisa menuntaskan dua urusan; menangisi dirinya sendiri -akibat
menuruti hawa nafsu tanpa kendali- dan menunaikan kewajiban untuk memuji
Rabbnya. Apabila kamu merasa takut kepada makhluk maka kamu akan merasa gelisah
karena keberadaannya dan menghindar darinya. Adapun Rabb (Allah) ta’ala,
apabila kamu takut kepada-Nya niscaya kamu akan merasa tentram karena dekat
dengan-Nya dan berusaha untuk terus mendekatkan diri kepada-Nya.” (lihat al-Fawa’id,
hal. 34)
[7] Dua Macam Ilmu
al-Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Ilmu itu ada dua
macam. Ilmu yang tertancap di dalam hati dan ilmu yang sekedar berhenti di
lisan. Ilmu yang tertancap di hati itulah ilmu yang bermanfaat, sedangkan ilmu
yang hanya berhenti di lisan itu merupakan hujjah/bukti bagi Allah untuk
menghukum hamba-hamba-Nya.” (lihat al-Iman, takhrij al-Albani, hal. 22)
[8] Siapakah Ulama?
Suatu ketika, ada seseorang yang berkata kepada
asy-Sya’bi, “Wahai sang alim/ahli ilmu.”Maka beliau menjawab, “Kami
ini bukan ulama. Sebenarnya orang yang alim itu adalah orang yang senantiasa
merasa takut kepada Allah.” (lihat adh-Dhau’ al-Munir ‘ala
at-Tafsir [5/98])
[9] Guru Yang Sejati
Yusuf bin al-Husain menceritakan: Aku bertanya kepada Dzun Nun
tatkala perpisahanku dengannya,“Kepada siapakah aku duduk/berteman dan
belajar?”. Beliau menjawab, “Hendaknya kamu duduk bersama orang
yang dengan melihatnya akan mengingatkan dirimu kepada Allah. Kamu memiliki
rasa segan kepadanya di dalam hatimu. Orang yang pembicaraannya bisa menambah
ilmumu. Orang yang tingkah lakunya membuatmu semakin zuhud kepada dunia.
Bahkan, kamu pun tidak mau bermaksiat kepada Allah selama kamu sedang berada di
sisinya. Dia memberikan nasehat kepadamu dengan perbuatannya, dan tidak
menasehatimu dengan ucapannya semata.” (lihat al-Muntakhab min
Kitab az-Zuhd wa ar-Raqaa’iq, hal. 71-72)
[10] Ciri Ilmu Yang Bermanfaat
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Batasan suatu ilmu
disebut sebagai ilmu yang bermanfaat -sebagaimana telah saya ungkapkan di dalam
nazham/sya’ir- adalah ia dapat menyingkirkan dua perkara dari dalam hati, yaitu
syubhat dan syahwat. Sebab syubhat akan menanamkan keragu-raguan. Sementara
syahwat akan menyebabkan kotor dan kerasnya hati dan membuat badan malas untuk
menjalankan ketaatan. Sehingga ciri ilmu yang bermanfaat adalah yang bisa menghilangkan
dua buah penyakit besar ini.” (lihat al-Qawa’id al-Fiqhiyah, hal. 12)
[11] Ilmu Yang Sebenarnya
Imam al-Auza’i rahimahullah berkata, “Ilmu
yang sebenarnya adalah apa yang datang dari para sahabat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Maka ilmu apapun yang tidak berada di atas jalan itu maka
pada hakikatnya itu bukanlah ilmu.” (lihat Da’a’im Minhaj
an-Nubuwwah, hal. 390-391)
[12] Tidak Ada Bid’ah Yang Baik (Hasanah)!
Imam Malik rahimahullah berkata, “Barangsiapa
yang mengada-adakan di dalam Islam suatu ajaran bid’ah dan dia memandangnya
sebagai kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menuduh Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah ta’ala berfirman,
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagi kalian agama kalian, dan telah Aku
cukupkan nikmat-Ku atas kalian, dan Aku telah ridha Islam sebagai agama
kalian.” Maka apa-apa yang pada hari itu bukan termasuk agama, pada hari ini ia
juga bukan termasuk agama.” (lihat al-Luma’ fi ar-Radd ‘ala
Muhassini al-Bida’, karya Syaikh Abdul Qayyum as-Suhaibani, hal. 8-9)
[13] Berpegang Teguh Dengan Sunnah
Imam ad-Darimi meriwayatkan dalam Sunannya, demikian juga
al-Ajurri dalam asy-Syari’ah, dari az-Zuhri rahimahullah,
beliau berkata, “Para ulama kami dahulu senantiasa mengatakan, “Berpegang
teguh dengan Sunnah adalah keselamatan.”.”Muhammad bin Nashr meriwayatkan
dari Abud Darda’ radhiyallahu’anhu, beliau berkata, “Kamu
tidak akan salah jalan selama kamu tetap setia mengikuti atsar.”(lihat Da’a’im
Minhaj an-Nubuwwah, hal. 340).
[14] Amalan Yang Diterima
Fudhail bin Iyadh rahimahullah berkata, “Sesungguhnya amalan
jika ikhlas namun tidak benar maka tidak akan diterima. Demikian pula apabila
amalan itu benar tapi tidak ikhlas juga tidak diterima sampai ia ikhlas dan
benar. Ikhlas itu jika diperuntukkan bagi Allah, sedangkan benar jika berada di
atas Sunnah/tuntunan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam, hal. 19 cet. Dar
al-Hadits).
[15] Hakikat Takwa
Thalq bin Habib rahimahullah mengatakan, “Takwa adalah kamu
mengerjakan ketaatan kepada Allah dengan bimbingan cahaya dari Allah seraya
mengharap pahala dari Allah, dan kamu meninggalkan kemaksiatan kepada Allah
dengan bimbingan cahaya dari Allah seraya merasa takut terhadap siksaan dari
Allah.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/222],Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam,
hal. 211)
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata, “Ketakwaan kepada
Allah bukan sekedar dengan berpuasa di siang hari, sholat malam, dan
menggabungkan antara keduanya. Akan tetapi hakikat ketakwaan kepada Allah
adalah meninggalkan segala yang diharamkan Allah dan melaksanakan segala yang
diwajibkan Allah. Barang siapa yang setelah menunaikan hal itu dikaruni amal
kebaikan maka itu adalah kebaikan di atas kebaikan.” (lihat Jami’ al-’Ulum wa
al-Hikam, hal. 211)
[16] Kiat Memperbaiki Hati dan Amalan
Diriwayatkan dari Mutharrif bin Abdullah rahimahullah bahwa dia
mengatakan, ”Baiknya hati adalah dengan baiknya amalan. Sedangkan baiknya
amalan adalah dengan baiknya niat.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 17).
Dari Ibnul Mubarak rahimahullah, dia mengatakan, ”Betapa banyak
amal yang kecil menjadi besar gara-gara niat. Dan betapa banyak amal yang besar
menjadi kecil gara-gara niat.” (Jami’ul ‘Ulum, hal. 17).
Seorang ulama yang mulia dan sangat wara’ (berhati-hati) Sufyan
Ats Tsauri rahimahullah berkata, ”Tidaklah aku menyembuhkan sesuatu yang lebih
sulit daripada niatku.” (Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim dinukil dari Ma’alim
fii Thariq Thalabil ‘Ilmi, hal. 19).
[17] Sifat Tawadhu’
Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Salah satu tanda
kebahagiaan dan kesuksesan adalah tatkala seorang hamba semakin bertambah
ilmunya maka semakin bertambah pula sikap tawadhu’ dan kasih sayangnya. Dan
semakin bertambah amalnya maka semakin meningkat pula rasa takut dan
waspadanya. Setiap kali bertambah usianya maka semakin berkuranglah ketamakan
nafsunya. Setiap kali bertambah hartanya maka bertambahlah kedermawanan dan
kemauannya untuk membantu sesama. Dan setiap kali bertambah tinggi kedudukan
dan posisinya maka semakin dekat pula dia dengan manusia dan berusaha untuk
menunaikan berbagai kebutuhan mereka serta rendah hati kepada
mereka.” (lihat Al Fawa’id, hal. 149).
[18] Anak-Anak Akherat
Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu’anhu berkata, “Jadilah kalian anak-anak akherat, dan jangan
menjadi anak-anak dunia. Sesungguhnya hari ini adalah amal dan belum ada hisab,
sedangkan besok yang ada adalah hisab dan tidak ada lagi waktu untuk beramal.”
(HR. Bukhari secara mu’allaq dalam Kitab ar-Riqaq, lihat Shahih Bukhari cet.
Maktabah al-Iman hal. 1307).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar